Monday, August 20, 2012

Tafakur

Cinta

Tuhan...
Saat aku menyukai seorang teman
Ingatkanlah aku bahwa akan ada sebuah akhir
Sehingga aku tetap bersama Yang Tak Pernah Berakhir
Tuhan...
Ketika aku merindukan seorang kekasih
Rindukanlah aku kepada yang rindu Cinta Sejati-Mu
Agar kerinduanku terhadap-Mu semakin menjadi
Tuhan...
Jika aku hendak mencintai seseorang
Temukanlah aku dengan orang yang mencintai-Mu
Agar bertambah kuat cintaku pada-Mu
Tuhan...
Ketika aku sedang jatuh cinta
Jagalah cinta itu
Agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Tuhan...
Ketika aku berucap aku cinta padamu
Biarlah kukatakan kepada yang hatinya tertaut pada-Mu
Agar aku tak jatuh dalam cinta yang bukan karena-Mu
Sebagaimana orang bijak berucap
Mencintai seseorang bukanlah apa-apa
Dicintai seseorang adalah sesuatu
Dicintai oleh orang yang kau cintai sangatlah berarti
Tapi dicintai oleh Sang Pencinta adalah segalanya
(dikutip dari Keebook hal. 174 dengan sumber MaPI No. 10 Th. IV Oktober 2003)

Sunday, August 19, 2012

catatan lebaran


Ayah
Hari ini 19 Agustus 2012, hari besar untuk semua umat muslim di dunia. Hari ini idul fitri 1433 H, seperti biasa lebaran kali ini semua warga desa akan saling berkunjung ke rumah keluarga, teman, dan tetangga untuk saling bermaaf-maafkan, bahkan lucunya kepada orang yang baru dikenal sekalipun. Masyarakat Indonesia sungguh unik, dan semoga tradisi seperti ini dapat terus dilestarikan. Makanan yang melimpah, anak-anak mendapat uang dari kerabat mereka, keluarga berkumpul menjadi satu, dan semua kebahagiaan yang hanya diperoleh satu tahun sekali tersebut pasti sangat dinantikan semua orang, tak terkecuali umat nonmuslim. Mereka juga membuka pintu untuk tamu-tamu yang berkunjung, menyediakan makanan, dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada.
Ada hal lain yang membedakan lebaran kali ini dengan lebaran-lebaran sebelumnya. Besok adalah ulang tahunku yang ke-19. Betapa bahagianya bisa merasakan pergantian umur setelah membersikan diri di bulan yang suci. Tapi, sepertinya masalah selalu muncul di saat seperti ini. Entah kenapa hari ini ayahku seperti orang lain. Bukannya aku tidak mengenal sifat beliau, tetapi sifat pemarah itu muncul di saat yang tidak tepat. Di hari lebaran, bagaimana mungkin seorang ayah terlihat menakutkan? Sedih dan kecewa melihat tingkah laku seperti itu. Aku harus memahami beliau seperti apa? Berpura-pura seolah tidak memiliki ayah kah? Yang jelas aku dan keluargaku tidak mengetahui alasannya. Yang terlintas di pikiranku, mungkin masalah uang lagi. Bukankah masalah ekonomi, uang, terutama kemiskinan bisa merubah pikiran manusia? Memang masalah semacam itu seperti sudah melekat dalam hidup keluargaku.
Masih berbicara tentang ayah. Lebaran kali ini, ayah hanya menjadi orang tua pendiam yang memendam masalahnya sendiri. Ayah memang seorang nonmuslim yang menikah dengan wanita muslim. Dan sebagai seorang muslim, aku harus bersikap lebih hati-hati antara agama dan orang tua. Biasanya beliau selalu ikut berkunjung ke rumah tetangga dan keluarga ibu. Hari ini, beliau sama sekali tidak beranjak dari rumahnya. Apa alasan di pikiran beliau bisa menjadi pembenaran untuk sikap seperti itu? Kurasa tidak. Aku memang seorang anak yang masih belajar bagaimana berterima kasih kepada orang tua. Hanya saja, apa aku salah jika aku mengharapkan ayah menjadi orang tua yang lebih baik. Aku ingin sekali beliau suatu saat bisa memeluk agama Islam. Aku ingin beliau menjadi wali yang sah saat aku menikah nanti. Aku memang anak yang tidak tahu apa-apa tentang betapa kerasnya usaha yang telah dilakukan orang tua untuk keluarganya. Akan tetapi, ini semua hanya keinginan terdalam dari seorang anak kepada ayah yang disayanginya.
Bisa dikatakan aku sedikit egois dengan hidupku. Mungkin aku kurang bersyukur dengan mengharapkan semua ini. Seharusnya aku melihat ke bawah untuk mengetahui jawabannya. Banyak anak yang tidak memiliki ayah, banyak anak yang tidak tahu siapa ayahnya, dan juga banyak anak yang memiliki ayah yang bahkan tidak mengenal Tuhan. Haruskah aku mengeluh dengan takdirku? Tentu tidak. Aku hanya perlu mencari petunjuk, mencari tuntunan yang sesuai dengan agamaku, aku yakin Tuhan akan membimbingku seiring jalan. Dan saat aku tersesat, aku harap aku tetap dapat melihat jalan terang. (aamiin)

Monday, August 13, 2012

UNGKAPAN HATI


Kemiskinan dan moralitas
Kemiskinan merupakan kondisi seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki standar kehidupan di bawah rata-rata orang pada umumnya. Kondisi yang demikian banyak sekali terdapat di negeri Indonesia, baik di desa maupun kota. Kesenjangan terlihat jelas sekali di daerah perkotaan dimana masyarakat miskin banyak hidup di pinggiran kota. Sedangkan di daerah pedesaan, kehidupan masyarakatnya relatif lebih merata dengan semangat tenggang rasa dan kegotongroyongannya. Jika membandingkan antara perkotaan dan pedesaan, seperti membandingkan dua sisi mata pisau yang akan selalu berbeda dan saling melengkapi. Akan tetapi, kali ini penulis ingin menyoroti bagaimana kehidupan pedesaan dimana penulis menghabiskan masa kecilnya sampai sekarang. Tentunya suatu kehidupan yang masyarakatnya tidak jauh dari kemiskinan. Banyak masalah-masalah menarik yang ingin dibagikan kepada semua orang dengan harapan penulis akan menemukan solusi atau saran untuk memperbaiki kondisi agar lebih baik dari sekarang.
Berkurangnya rasa persatuan
Baru sekitar dua tahun penulis menjadi anggota dari perkumpulan muda-mudi di desa. Memang belum besar apa yang penulis berikan kepada desa. Akan tetapi, saat ini siapa yang akan menduga kalau perkumpulan yang telah bertahun-tahun berjalan harus berhenti begitu saja. Satu tahun ini, penulis memang menyadari satu per satu anggota perkumpulan lepas. Selain karena pergi sebagai perantauan di kota-kota besar, alasan lainnya adalah para anggota merasa tidak kuat untuk membayar iuran pada tiap pertemuan. Di desa ini, lapangan pekerjaan hampir sama sekali tidak ada. Para pemuda tidak ada yang meneruskan sekolah hingga ke perguruan tinggi, sehingga sulit untuk memperoleh penghasilan dengan gaji tinggi. Para pemudi biasanya bekerja sebagai buruh di pabrik dengan gaji yang agak lumayan. Sedangkan untuk yang masih bersekolah, mereka sendiri merasa kesulitan membiayai urusan pribadi masing-masing karena masih mngandalkan orang tua yang juga hidup pas-pasan. Dalam kondisi semacam itu, bagaimana seorang anak bangsa dengan suka rela mengurusi sebuah organisasi yang juga membutuhkan biaya? Memang, dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan komitmen dan rasa tanggung jawab. Apalagi, organisasi tersebut berdiri sebagai tulang punggung masyarakat dan untuk kepentingan bersama. Suatu mesin tidak akan berjalan tanpa adanya suatu bahan bakar. Semoga organisasi pemuda di desa ini dapat dijalankan kembali dengan bahan bakar alternartif. Bagaimanapun, organisasi kepemudaan merupakan salah satu media utama dalam mengembangkan persatuan bangsa yang bermoral dan bermanfaat untuk sesama manusia.
Berkurangnya cinta tanah air
Bulan Ramadhan kali ini kebetulan bertepatan dengan bulan Agustus. Tiap bulan Agustus, tepatnya tanggal 17, bangsa Indonesia akan merayakan momen bersejarah yakni hari kemerdekaan Indonesia. Sudah menjadi kebaiasaan masyarakat pada bulan ini untuk memasang berbagai macam atribut untuk memeriahkan bulan kemerdekaan, termasuk memasang bendera merah putih di depan rumah masing-masing. Di desa ini, hanya sebagian kecil orang mau memasang bendera di depan rumah mereka. Rasanya kebiasaan tersebut sudah merupakan lagu lama yang tidak penting lagi untuk dilakukan. Mungkin mereka berfikir, apalah arti kemerdekaan untuk orang-orang kecil, hidup tetap saja susah. Sepanjang jalan, penulis tidak lagi melihat kain warna-warni yang dulu ada di tempat tersebut setiap Agustus. Tahun ini, pemasangan bendera dari kertas hanya dilakukan oleh beberapa pemuda-pemudi yang merasa peduli dengan hal itu. Mungkin saja tahun depan jalan-jalan desa akan benar-benar kosong dari kemeriahan HUT RI. Ada lagi acara khusus di bulan Agustus yang tahun lalu berhasil dilaksanakan meskipun dengan modal Rp200.000,00 yaitu lomba untuk anak-anak. Untuk tahun ini, kemungkinan sudah tidak bisa dilaksanakan mengingat tidak adanya modal akibat organisasi pemuda yang berhenti dan berantakan. Mungkin hanya sekedar memasang bendera dan lomba kecil-kecilan. Akan tetapi, besar sekali makna yang terkandung dalam kegiatan-kegiatan tersebut, seperti rasa kebangsaan dalam mnghargai makna kemerdekaan, rasa persatuan dalam menciptakan suatu even, dan rasa kebersamaan dan kebahagiaan anak-anak kecil yang jarang sekali terjadi di tempat ini. Semua itu sulit dilakukan lagi-lagi karena dana dan keegoisan masing-masing pihak.
Muncul penyakit masyarakat
Kehidupan masyarakat yang serba kekurangan telah menjadikan mereka buta. Meskipun penulis tidak menunjuk kepada semua anggota masyarakat, akan tetapi kenyaataannya hampir sebagian besar anggota masyarakat yang penulis amati telah melupakan nilai dan norma yang seharusnya telah mereka pahami. Di desa ini telah muncul lagi penyakit lama yang benar-benar merusak masyarakat, yaitu perjudian. Penulis telah mengenal dengan baik bagaimana seluk beluk perjudian tersebut, bahkan setahu penulis memang terdapat oknum tertentu yang sengaja melindungi jaringan perjudian tersebut. Penyakit ini tidak mengenal usia, semua kalangan dapat tertulari penyakit ini. Bahkan pemuda-pemuda di desa banyak yang menjadi calo, sungguh disayangkan. Semua tindakan tersebut telah dianggap wajar di tempat ini, seperti sebuah permainan bagi siapa saja, hanya tentang menang atau kalah. Praktek perjudian tersebut tetap saja terjadi meskipun di bulan Ramadhan, bulan dimana smua umat manusia mencari rahmat dan ampunan, bukan menambah perbuatan dosa. Lagi-lagi syetan berhasil menjerumuskan manusia dengan berbagai tipu dayanya.
Hilangnya rasa ketuhanan
Penulis mengamati masjid di desa penulis saat bulan Ramadhan ini. Awalnya, penulis merasa senang melihat masjid yang pada hari-hari biasa terlihat sepi dan gelap sekarang menjadi ramai oleh penduduk desa khususnya para pemuda yang biasanya hanya duduk-duduk di perempatan jalan. Perasaan itu hanya sementara, sebab menjelang akhir bulan ramadhan masjid terlihat lebih sepi dibanding sebelumnya, khususnya di barisan laki-laki. Tidak ada satu pun pemuda yang hadir untuk shalat. Biasanya, satu dua orang akan datang meskipun hanya untuk shalat isyak. Kemana mereka semua. Sayang sekali masjid yang tergolong besar tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik.
Mengingat bagaimana kebiasaan pemuda di desa ini, penulis tidaklah heran. Bagaimana menyadarkan generasi bangsa yang sudah banyak teracuni dengan minuman keras dan perjudian untuk kembali mengingat Tuhannya? Apakah mustahil untuk mnjadikan desa ini sebuah desa yang dipenuhi kedamaian karena semua warganya ingat akan hari pembalasan? Apakah tidak mungkin suatu saat di desa ini muncul seorang pemuda yang berani menggantikan satu-satunya imam di masjid tersebut? Apakah kemiskinan telah membuat mata hati banyak orang tertutup dan lupa untuk bersyukur? Apakah penulis juga naif dengan mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan dalam hati tentang kampung halamannya? Seandainya penulis di posisi mereka, apakah penulis akan menjadi seperti mereka? Kemudian penulis ingat beberapa ayat dari Allah Swt. yang artinya
(Ar-Ra’d:26) Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).
(Al-‘Ankabuut:62) Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(Ar-Ruum:37) dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.
(Az-Zumar:52) dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.



SEMESTER II


Membentuk diri (bagian 2)
Tidak terasa satu tahun sebagai mahasiswa PGSD telah terlewati. Rasanya baru kemarin aku menerima pengumuman penerimaan PMDK, ternyata itu sudah satu tahun yang lalu. Masih ada setidaknya tiga tahun lagi sampai aku bisa menyandang gelar sarjana. Bagiku, ini adalah suatu perjalanan berat. Aku belum tahu tantangan apa saja yang akan aku temui kelak. Aku juga tidak bisa memastikan apakah aku mampu mempertahankan beasiswa yang menopang kuliahku. Tapi, bukankah itu suatu kehidupan, sebuah ruang waktu yang penuh dengan ketidakpastian.
Di semester dua ini, aku menemukan kost yang lebih dekat dengan sewa yang sama. Aku merasa nyaman dengan fasilitasnya. Kost itu hanya dihuni teman-temanku dari PGSD, sehingga rasanya seperti rumah sendiri. Aku tidak pernah merasa kesepian jika berada di dekat mereka. Hanya saja, hanya di semester dua ini aku berada di kost tersebut. semester tiga besok, aku memutuskan untuk tinggal di rumah sendiri. Meskipun jika ditempuh dengan sepeda motor butuh waktu setengah jam untuk sampai ke kampus, aku rasa tidaklah terlalu melelahkan. Aku melakukannya agar uangku tidak habis hanya untuk membayar kost, padahal rumahku sendiri cukup dekat dari kampus.
Ngomong-ngomong soal rumah, sebentar lagi mungkin aku tidak punya rumah. Seperti yang sudah kuceritakan, itu bukan milikku lagi. Lagi pula, rumahku yang berukuran SSS itu tidak punya kamar untuk kutempati. Karena itu, aku tinggal di rumah budheku yang ada di sebelah rumahku. Kamar yang tidak dibatasi dengan tembok, tapi cukup tempat untuk belajar. Meskipun begitu, aku masih bisa memandang halaman cukup luas di depan rumah tempat ayah membuat batu bata. Aku juga punya taman kecil di samping rumah yang aku pelihara sejak aku kecil. Aku merasa tenang berada di tempat itu. Entah sampai kapan taman itu dapat bertahan sebelum akhirnya akan hilang karena keadaan.
Pada semester ini, aku mulai bekerja sebagai guru les privat. Seorang kakak kelas membentuk sebuah lembaga bimbingan khusus untuk anak SD. Pengalaman dan uang tambahan yang menarik minatku. Memang tidak banyak uang yang diperoleh, akan tetapi pengalaman mengajar seperti ini akan sangat berharga untuk profesiku kelak. Dengan modal sepeda miniku, aku pergi ke rumah masing-masing anak tak peduli sore ataupun malam dan tak peduli panas ataupun hujan. Aku pikir karena lelah, mungkin nilaiku semester ini akan turun. Akan tetapi, itu tidak benar. Terlepas dari segala alasan, aku yakin Tuhan tetap menemaniku dimanapun aku berada. Aku harap, di semester tiga besok aku tetap mendapat kesempatan untuk bekerja dengan tetap mempertahankan dan mengembangkan kemampuanku. (aamiin)
Uang beasiswa semester ini turun di akhir semester. Aku menggunakannya untuk keperluan hidup, sehingga orang tua tidak lagi memberikan uang saku. Meskipun begitu, aku mengakui terkadang sifat egois dan kekanak-kanakanku muncul. Sejak kecil, konflik keluarga memang sering terjadi. Hanya pengertian dan kesabaran yang mampu menjadi perisai. Tahun ini, adikku masuk SMP, pastilah orang tua membutuhkan biaya tambahan. Aku menggunakan sedikit uangku untuk membayar uang seragam. Itu pasti tidaklah seberapa dibanding apa yang telah orang tua keluarkan untukku dahulu. Sebentar lagi, budhe juga akan punya hajat. Dan sebagai keponakan yang telah diasuh sedari kecil, sudah menjadi kewajiban jika memberikan sedikit bantuan. Aku sendiri berfikir, memang tindakan budhe kurang bijak mengingat kondisi keuangannya sendiri. Aku khawatir beliau akan terjebak dalam hutang seperti yang lain. Lagi-lagi aku merasa dunia orang dewasa begitu rumit.

SEMESTER I


Membentuk diri (bagian 1)
Perubahan sikap, itu yang aku rasakan setelah satu semester menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa strata satu. Aku merasa bahagia dapat memenuhi janjiku untuk menutup diri meskipun baru dalam lingkup universitas. Aku merasa Tuhan memiliki tujuan lain memasukkanku ke jurusan PGSD. Di kampusku, sebagian besar mahasiswi telah menutup diri mereka sehingga terlihat sangat indah dan pantas disebut sebagai “calon guru”. Dalam perkuliahan, mahasiswi dilarang memakai celana ataupun pakaian yang kurang sopan. Mengingat bagaimana penampilanku ketika masih SMA, peraturan tersebut benar-benar akan merubahku. Aku harus mengganti pakaianku dari celana jeans mnjadi rok panjang, mengganti kaos dengan baju berkerah, dan mengganti sepatu ket dengan pantofel. Semua itu menjadikanku seorang wanita seutuhnya.(^_^)
Meskipun secara fisik aku telah berubah, menutup diri dengan pakaian muslimah, aku masih memiliki karakter tomboi sebagai seorang wanita. Aku menyadari keadaan ini tidaklah menguntungkan untuk peranan yang aku jalankan. Tetapi, keadaan tersebut sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan adanya kegiatan mentoring wajib di semester awal. Aku melihat bagaimana seorang wanita seharusnya bersikap. Aku melihat betapa anggunnya wanita-wanita yang berlaku lemah lembut. Dari melihat tersebut, aku berusaha belajar dan memahami sisi lain dari diriku. Jika diibaratkan, seperti singa berbulu kucing atau kucing berbulu singa, apalah bedanya buatku karena keduanya bagian dari diriku. Aku hanya perlu mengendalikannya dan menempatkannya dengan benar. Aku menyadari menjadi seorang wanita seutuhnya dan seorang calon guru itu memang tidak mudah untuk orang awam sepertiku.
Beasiswa tahap pertama telah cair. Satu hal yang aku butuhkan, yaitu komputer, leptop, netbook, notebook, atau sejenisnya. Aku harus segera memilikinya karena itu salah satu kebutuhan utama seorang mahasiswa. Uang yang seharusnya untuk kebutuhan sehari-hari habis dalam sehari. Kasihan juga kedua orang tuaku yang masih harus membiayai kost dan lain-lain, meskipun biaya kuliah sepenuhnya gratis. Aku ini orang yang mudah sekali memikirkan segala sesuatu secara berlebihan. Karena itu, aku yang masih menjadi beban orang tua dan membuat mereka selalu terjebak hutang sungguh hal yang harus aku sadari.
Semakin dewasa, sepertinya pikiran akan semakin mudahdiliputi kecemasan. Hal itu membuatku ingin lebih mengenal Tuhanku. Yang tadinya aku pemalas dalam mempelajari agama, menjadi rajin dalam sebuah keingintahuan yang besar dalam mencari makna hidup ini. Aku yakin Tuhan tak kan meninggalkan hamba yang ingin dekat dengan-Nya. Aku seorang gadis yang dengan percaya diri menempuh satu jam jalan kaki pulang pergi dari dan ke kampus. Tapi, aku juga gadis penakut yang merasa dirinya lebih kecil di antara yang lain. Sepertinya aku punya kepribadian yang berubah-ubah, atau aku sendiri yang belum memahmi sifatku sepenuhnya. Aku kadang berfikir rasanya menjadi orang lain, apakah semua perasaan ini juga dialami oleh mereka. Memang benar, sepertinya aku hanya gadis lugu yang baru mengenal dunia ini.

CATATANKU 3


Mencari jati diri (bagian 3)
Tidak terasa hampir tiga tahun menjalani kehidupanku sebagai pelajar SMA. Ya, kini aku telah berada di kelas XII, masa yang paling kritis dalam memasuki dunia dewasa. Di tahun ini, aku tidak memiliki kisah cinta untuk diungkapkan. Siapa yang tidak tahu kalau pada saat ini semua siswa kelas XII akan menghadapi dua hal penting dalam hidupnya. Yang pertama, mereka akan menghadapi ujian sekolah sekaligus ujian nasional dan yang kedua, mereka harus berusaha mati-matian untuk memasuki sekolah tinggi yang diinginkan. Aku sama seperti murid kebanyakan, dihadapkan lagi pada suatu dilema yang besar. Sampai akhir semester satu, aku belum memiliki pandangan sama sekali tentang masa depanku.
Aku ingat mengenai cita-citaku semasa kecil yang masih aku bawa sampai sekarang. Menjadi seorang guru yang pada saat itu merupakan satu-satunya pekerjaan yang aku inginkan. Dan di saat seperti ini, aku berfikir dunia begitu rumit. Aku hanya ingin menjadi manusia yang sederhana, menjalani hidup ini dengan cara yang sederhana, dan di tempat yang sederhana tentunya. Pikiranku yang terkesan pendek itu bukan tanpa alasan. Kehidupanku dan keluargaku telah menjalani masa-masa yang sulit selama beberapa tahun ini, terutama dengan dijualnya setengah tanah keluarga yang otomatis akan membuatku kehilangan rumah juga. Bagaimana mungkin dengan hampir tanpa modal, aku dapat memikirkan sekolah tinggi ataupun universitas yang kuinginkan. Saat seperti ini merupakan titik keputusasaan dalam hidup. Tapi, aku selalu menekankan bahwa aku tidak boleh menyesal akan apa pun, termasuk masuk ke SMA ini dengan modal akal dan keberanian. Sejenak aku menjadi semangat, aku mulai berfikir beberapa alternatif yang bisa aku lakukan untuk memulai masa depan. Lagi pula, di desaku hampir tidak ada orang yang kuliah, apalagi seorang wanita. Aku membayangkan diriku tidaklah berbeda dengan mereka, yang mungkin akan bekerja setelah lulus sekolah nanti.
Meskipun kesempatan untuk melanjutkan sekolah sangatlah sempit, aku masih memiliki sedikit keinginan untuk mencoba. Salah satunya, aku mendaftar beasiswa di salah satu sekolah swasta di Yogyakarta, tapi aku pun tidak berharap banyak. Di semester dua ini, semua siswa kelas XII akan sibuk mengurusi pendaftaran seleksi mahasiswa melalui PMDK baik jalur reguler maupun beasiswa “Bidik Misi” yang mulai berlaku tahun kemarin. Seleksi tersebut berdasarkan nilai semester dari semester I smpai semester V selama di SMA. Aku ingin mengikutinya meskipun berdasarkan pengalaman kakak kelas tahun lalu, harapannya tipis. Hanya siswa dengan nilai istimewa yang mungkin akan diterima apalagi melalui beasiswa. Aku pikir itu salah satu kesempatan yang memang harus dicoba semua siswa.
Rasanya sang surya baru saja terbit di ufuk timur ketika mengetahui perubahan peraturan tentang penerimaan mahasiswa melalui jalur PMDK sekaligus beasiswa BM. Untuk pertama kalinya peraturan tersebut berlaku di seluruh Indonesia. Hanya 25% siswa yang dapat mendaftar PMDK dan hanya setengahnya yang mendapat kesempatan mendaftar beasiswa BM. Aku tidak percaya dengan keberuntungan, karena memang semua hal yang ada di dunia ini tidak terjadi secara kebetulan. Tuhan Maha Mengetahui dan telah mengatur segala sesuatu termasuk memasukkanku dalam 10% tersebut. Rasanya seperti pintu masa depan dibuka lebih lebar untukku. Apakah mungkin aku akan diberi kesempatan untuk memasukinya.
Aku begitu berharap dan begitu cemas hingga aku membuat janji terhadap Tuhan dan diriku sendiri. Aku ingin memnutup diriku seandainya aku memang memiliki kesempatan itu, kesempatan untuk mengejar mimpi yang tadinya mustahil. Hal itu tentu akan kulakukan secara perlahan-lahan mengingat keadaanku saat ini. Aku belum begitu mengerti kenapa aku menginginkan hal itu. Aku merasa hatiku belum sepenuhnya tertutup. Tapi, jika memang aku mendapat anugerah tersebut, bukankah itu sesuatu yang sangat luar biasa yang mampu Tuhan berikan kepada hamba-Nya.
Karena aku terlalu yakin dengan hasil seleksi PMDK, aku melewatkan panggilan tes masuk lain. Dan hasilnya, puji syukur kepada Allah Swt. yang pada akhirnya memberiku pintu untuk meraih cita-citaku. Aku sementara diterima di universitas negeri di Surakarta. Betapa bahagianya, meskipun jurusan yang diterima bukan pilihan utama, akan tetapi aku masih dalam lingkup keguruan, tepatnya pendidikan guru SD. Sebuah perjuangan yang tidak sia-sia dari awal masuk SMA hingga titik akhir. Takdir Tuhan memang selalu tak terduga. Jalan yang membimbingku untuk masuk ke SMA favorit di Sukoharjo, ternyata merupakan langkah awal dalam mengantarku menjadi manusia yang lebih baik. Terkadang, aku memikirkan lagi segala kesalahan yang telah aku lakukan selama tiga tahun ini. Apakah aku pantas memperoleh semua ini setelah aku sedikit lalai dengan kewajibanku. Aku begitu bersyukur sekaligus merasa bersalah kepada Tuhan yang selalu mengasihi hamba-Nya walaupun terkadang lupa untuk mensyukuri nikmat-Nya. Aku memang belum tahu tantangan apa lagi yang akan aku peroleh kelak ketika aku sudah menjadi seorang mahasiswa. Hanya saja, sekarang aku telah menemukan jalanku, tugasku, dan tanggung jawabku. Tidak terlepas dari semua kesalahanku dahulu, aku ingin memperbaikinya sedikit demi sedikit seiring menepati janjiku pada Tuhan sebelumnya.

CATATANKU 2


Mencari jati diri (bagian 2)
Pada bagian  pertama kemarin, aku menceritakan sedikit hal tentang apa yang aku alami di tahun keduaku di SMA. Sekarang aku sudah kelas tiga, jadi tidak ada lagi kisah tentang percintaan anak SMA. Yah, meskipun aku sempat memiliki teman dekat yang benar-benar teman dekat. Seorang laki-laki baik yang mau menemaniku melihat kembang api tahun baru 2011. Untuk pertama dan mungkin untuk terakhir kalinya aku bisa merasakan kebebasan sebagai seorang remaja melalui temanku itu. Aku berterima kasih padanya atas “dunia lain” kaum muda yang dia tunjukkan padaku. Aku akan menceritakannya sedikit.
Sebagai seorang teman, dia begitu setia pada kawan-kawannya. Pada umumnya, kebiasaan beberapa pemuda lajang di malam minggu yang bisa dilakukan adalah bermain futsal atau mencari tempat untuk menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang. Dan aku pernah mengalaminya. Bagiku, tentu saja itu hal baru yang membuatku kurang nyaman. Kegiatan mereka benar-benar positif jika dibandingkan dengan beberapa pemuda lain yang hanya duduk-duduk di tepi jalan dan mabuk-mabukan. Aku berhenti sebentar di tempat dimana hanya ada anak-anak muda yang berkumpul. Banyak pedagang dadakan di tempat. Dan aku berkesempatan mencicipi jagung bakar yang lumayan menghangatkan badan dari dinginnya udara malam. Dia menceritakan banyak hal dan aku sadar kami benar-benar memiliki kebiasaan yang berbeda. Sekarang aku benar-benar rindu teman seperti dia. Karena dari dia, aku tahu bagaimana sebuah persahabatan bisa begitu penuh warna. Tapi, lagi-lagi aku bertanya, “benarkah tindakanku?”
Faktanya dia adalah seorang laki-laki dan aku sadar akan hal itu. Aku tahu tidak seharusnya seorang wanita keluar apalagi pada malam hari dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat ini, aku berusaha mengingat kembali bagaimana cara berfikirku waktu itu. Entahlah, mungkin karena lingkunganku tidak secara tegas melarangnya. Atau aku yang masih belum belajar dari penalaman. Apapun itu, bukankah sudah terjadi. Aku selalu ingin tahu manfaat apa yang dapat aku ambil dari setiap pengalaman hidupku. Sayangnya, aku hanya punya sedikit pengalaman bila dibandingkan dengan orang lain.
Bisa dikatakan, aku mengalami masa-masa dilema yang besar selama aku berada di SMA. Aku terus memikirkan antara tindakan yang benar dan salah, antara yang aku suka dan yang diharapkan kepadaku, antara kebiasaan dan norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kehidupan remaja sepertiku, hal-hal itu tampak membingungkan dan sulit dibedakan. Memiliki teman, dan bergaul layaknya orang-orang pada umumnya, bagiku itu merupakan kesenangan yang wajar selama aku masih menyadari batasan-batasan tingkah laku yang menurutku masih dianggap pantas. Tapi, benarkah?
Aku menyadari sepenuhnya, sebaik apapun kita menganggap baik seorang teman, kita pasti juga akan menemukan sisi lain dari pribadinya. Ketika dunia itu sudah terlalu jauh dengan kehidupan nyata kita, tentu kita akan dihadapkan suatu pilihan yang membingungkan antara kembali ke kehidupan nyata, mengikuti teman tersebut, atau pilihan yang biasanya menjadi jalan tengah, yaitu menyeimbangkan antara keduanya. Tapi bukankah aku mengatkan kalau jaraknya terlalu jauh. Aku membayangkan sebuah meja makan yang panjang dimana di ujung kiri ada nasi dan di ujung kanan ada segelas air. Aku yang sedang dalam keadaan lapar, tidak mungkin akan duduk di tengah meja yang sudah jelas tidak akan mendapat apa-apa.
Peran dan persahabatan itu bukanlah dua kutub yang saling berseberangan. Hanya saja, terkadang keduanya berjalan bersama-sama dan terkadang saling menjauh sehingga kita perlu berfikir untuk memilih jalan mana yang “harus” diikuti, bukan “ingin” diikuti.