Sunday, February 17, 2013

Hidup Dengan Prinsip


HIDUP DENGAN PRINSIP
Part 1
Prinsip, sejak kecil manusia mengenal prinsip. Sejak kecil pula manusia belajar dan dididik untuk membentuk prinsip. Apa sebenarnya prinsip itu? Pentingkah manusia memiliki prinsip? Banyak pertanyaan yang muncul di benakku mengenai hal yang satu ini. Aku ingin mengungkapkan pikiran kecilku tentang arti prinsip dalam hidupku.
Apa sebenarnya prinsip itu? Prinsip menurutku bagaikan sebuah pondasi rumah. Unsur pertama yang perlu dipikirkan dan dibangun dengan baik agar rumah yang berdiri di atasnya dapat berdiri kokoh. Ketika angin kencang menerpa, hujan lebat dan panas terik silih berganti, rumah yang memiliki pondasi yang baik tentu akan lebih kuat menghadapi semua itu. Begitu pula dengan prinsip. Jika prinsip dibangun dengan kuat, tentu akan lebih mantap dalam menghadapi berbagai situasi dan masalah yang selalu datang silih berganti menguji manusia.
Seberapa penting prinsip bagi kehidupan manusia? Aku rasa setiap manusia memiliki jawaban sendiri atas pertanyaan ini. Dunia ini memang bukan tempat yang mudah untuk mempertahankan prinsip. Istilahnya orang cenderung “fleksibel” dengan berbagai situasi di sekitar mereka. Apalagi, setiap manusia memiliki berbagai kepentingan di dunia ini. Tekanan kebutuhan, prinsip mayoritas, dan sikap untuk menjadi pengekor pada kekuasaan menjadi beberapa hal yang sering menjadi penyebab terbentuknya manusia “fleksibel”. Sepertinya agak sedikit berlebihan, tetapi itulah yang ingin aku katakan. Apa aku seorang yang munafik? Mungkin saja begitu dan orang lain berhak menilai satu sama lain.
Pada dasarnya, manusia terlahir dengan jiwa yang baik dan siap menerima segala sesuatu yang baik. Seperti sering dikatakan, manusia itu pada dasarnya baik. Jika manusia sedang berada pada posisi nyaman, mereka akan cenderung mudah untuk berbuat baik. Sebaliknya, saat manusia merasa diri mereka sedang dalam kondisi sulit, sulit pula bagi mereka untuk melihat keberadaan orang lain. Suatu ketika manusia akan mengalami dilema antara prinsip diri dengan situasi yang menuntutnya untuk melawan prinsip. Aku sadar aku sering mengalami hal tersebut. Sampai pada situasi saat manusia harus membuat keputusan. Sebagai alibi, mungkin prinsip yang selama ini diyakini dan dipertahankan tidaklah tepat, kita harus melihat keadaan, atau lagi-lagi kita harus “fleksibel”. Manusia berfikir sepanjang hal- hal itu tidak merugikan orang lain dan menguntungkan bagi mereka, itu sah-sah saja, toh orang lain juga sudah biasa melakukannya. Aku juga tidak bisa mengatakan itu salah, aku hanya ingin mengatakan kalau itu kurang adil dengan orang-orang yang berusaha mempertahankan prinsip yang sama.
Prinsip mendasar yang ingin aku ungkapkan adalah kejujuran. Jujur saja, prinsip yang satu ini selalu mengusik hati dan pikiranku. Sedikit lucu aku bertanya, “Masihkah ada orang yang benar-benar jujur di dunia ini?” Aku rasa selama aku hidup tidak ada manusia yang tidak pernah berbohong, baik mungkin untuk kebaikan maupun yang menyebabkan kerugian bagi sesamanya. Pada dasarnya lagi, manusia akan berkata jujur selama ia tidak merasa terancam dengan kejujurannya. Akan tetapi, manusia selalu dihadapkan pada keadaan yang menguji prinsip yang satu ini.
            Aku ingin menggambarkan bagaimana sulitnya kejujuran itu. Untuk membuat sebuah surat izin mengemudi, manusia-manusia jujur akan menjalani serangkaian tahapan dari antri, mengikuti tes tertulis lalu tes praktik. Jika tes itu gagal, maka ia harus kembali berminggu-minggu lagi untuk mengikuti tes ulang. Dan sangat mengherankan sekali tes yang dilakukan sepertinya memang dirancang untuk menggagalkan seluruh peserta. Sudah jelas manusia akan memilih jalan pintas dengan membayar lebih mahal dan dalam tiga hari surat izinpun jadi tanpa melalui tes apapun. Jika manusia mempertahankan prinsipnya untuk jujur, sudah dipastikan surat pun tak akan segera diperoleh. Apalagi mengingat kegiatan manusia tidak hanya untuk bolak-balik ke kantor polisi.
            Aku masih ingin menggambarkan sulitnya prinsip kejujuran dipertahankan. Jika diadakan survei seluruh pelajar dari SD sampai perguruan tinggi di Indonesia, berapa orang yang yang akan menjawab ia tidak pernah menyontek ataupun berbuat curang dalam ujian? Mungkin hanya akan ada beberapa orang dan itupun belum pasti benar. Ya, fenomena seperti ini lazim di Indonesia. Masyarakat Indonesia itu merupakan orang-orang yang murah hati dan memiliki rasa toleransi yang tinggi. Akibat sampingannya, masalah seperti bukan lagi menjadi suatu masalah yang perlu dikatakan sebagai suatu masalah. Lalu, apa yang membuat sebagian kecil orang masih mempertahankan prinsipnya untuk menjadi egois dan pelit saat ulangan? Menurutku itulah prinsip. Prinsip yang ingin dipegang teguh meski seolah-olah seluruh dunia menentangnya. Apa yang menyebabkan sebagian orang “fleksibel” dan sebagian lagi tetap “kokoh” dengan prinsipnya? Menurutku itulah yang disebut karakter. Aku tidak ingin menjelaskan arti dari karakter. Orang dewasa tahu sesuatu yang dianggapnya benar, tapi belum tentu tahu cara menerapkannya. Aku juga bukan Tuhan yang mampu menilai itu dosa atau tidak. Aku juga bukan orang yang munafik yang akan mati-matian menyalahkan perbuatan tersebut. Aku ingin menyadarkan diriku sendiri bahwa inilah dunia dengan segala kefanaannya.
            Contoh selanjutnya yang dekat sekali dengan kehidupan masyarakat, yaitu tradisi “politik uang. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya merupakan kalangan menengah ke bawah. Orang cenderung berfikir uang berbicara, uang menentukan segalanya, dan uang mampu membeli hak suara mereka. Masyarakat lebih suka memikirkan insentif yang kira-kira akan diperoleh daripada memikirkan pemimpin yang paling baik untuk memimpin mereka. Setiap akan diadakan pemilihan kepala daerah, masyarakat akan kebanjiran uang dari para calon. Itu pun tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Insentif yang ditawarkan sekitar dua puluh ribu per kepala. Jumlah yang cukup besar mengingat banyaknya jumlah masyarakat di suatu daerah. Mengapa para calon ini begitu percaya bahwa orang yang menerima uang ini akan memilih mereka? Jawabannya mungkin karena masyarakat Indonesia memang orang yang menghargai suatu kemurahan hati, meskipun ada udang di balik batu. Ibaratnya, masyarakat membuat sebuah janji dengan menerima insentif tersebut.
            Contoh terakhir yang kulihat adalah tentang ketidakjujuran dalam usaha. Menurutku, sekecil apapun ketidakjujuran tetaplah suatu ketidakjujuran. Dunia memang penuh tipu daya. Memang setiap manusia berusaha saling berlomba untuk mencapai yang terdepan. Menurutku, setiap manusia mempunyai lintasan dan finishnya sendiri tanpa ia harus melihat orang lain yang berlari mendahuluinya. Mungkin sesekali kita bisa melihat cara dia berlari dan mengadaptasikannya pada diri kita. Jika yang kita lihat tidak sesuai dengan diri kita, apa yang harus dilakukan? Itulah usaha mereka dan itulah lintasan mereka. Mungkin kita merasa iri dengan segala kecurangan yang dilakukan pelari lain. Kenapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lagi-lagi itulah prinsip, yang mempengaruhi segala keputusan dan perbuatan kita. Tuhan itu tidak tidur. Semua perbuatan sekecil apapun pasti ada nilainya. Sabar dan ikhlas sangat diperlukan orang-orang yang pantang menyerah dalam memegang prinsip yang benar di mata Tuhan.
            Itu tadi beberapa kejadian yang sangat erat di kehidupan manusia. Bisa dikatakan itu hanyalah contoh-contoh kecil yang tidak perlu dipermasalahkan. Lalu, bagaimana untuk orang yang ingin mempertahankan prinsipnya? Apa harus membiarkan itu terjadi? Atau menjadi orang yang “sok suci”? Terkadang di antara dua pilihan, masih ada pilihan tengah di antara keduanya. Jika bicara tentang prinsip, manusia berhak menentukan pilihannya. Melakukan hal-hal kecil yang sekiranya itu benar di mata Tuhan adalah lebih baik dibanding apapun. Merubah sesuatu sepertinya memang harus dimulai dari diri sendiri. Aku selalu mengingatkan diri, dunia ini bukanlah tujuan akhir dan bukanlah sesuatu yang kekal. Jika hidup hanya digunakan untuk merasa iri dengan kehidupan orang lain, bukankah sangat sia-sia?? Hidup memang tidak adil, makanya kita harus adil dengan diri kita sendiri dengan mensyukuri setiap nikmat yang kita peroleh. Selalu ingat kalau Tuhan itu Maha Adil.

No comments:

Post a Comment