Kemiskinan dan moralitas
Kemiskinan
merupakan kondisi seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki standar
kehidupan di bawah rata-rata orang pada umumnya. Kondisi yang demikian banyak
sekali terdapat di negeri Indonesia, baik di desa maupun kota. Kesenjangan
terlihat jelas sekali di daerah perkotaan dimana masyarakat miskin banyak hidup
di pinggiran kota. Sedangkan di daerah pedesaan, kehidupan masyarakatnya
relatif lebih merata dengan semangat tenggang rasa dan kegotongroyongannya.
Jika membandingkan antara perkotaan dan pedesaan, seperti membandingkan dua sisi
mata pisau yang akan selalu berbeda dan saling melengkapi. Akan tetapi, kali
ini penulis ingin menyoroti bagaimana kehidupan pedesaan dimana penulis
menghabiskan masa kecilnya sampai sekarang. Tentunya suatu kehidupan yang
masyarakatnya tidak jauh dari kemiskinan. Banyak masalah-masalah menarik yang
ingin dibagikan kepada semua orang dengan harapan penulis akan menemukan solusi
atau saran untuk memperbaiki kondisi agar lebih baik dari sekarang.
Berkurangnya rasa persatuan
Baru
sekitar dua tahun penulis menjadi anggota dari perkumpulan muda-mudi di desa.
Memang belum besar apa yang penulis berikan kepada desa. Akan tetapi, saat ini
siapa yang akan menduga kalau perkumpulan yang telah bertahun-tahun berjalan
harus berhenti begitu saja. Satu tahun ini, penulis memang menyadari satu per
satu anggota perkumpulan lepas. Selain karena pergi sebagai perantauan di
kota-kota besar, alasan lainnya adalah para anggota merasa tidak kuat untuk
membayar iuran pada tiap pertemuan. Di desa ini, lapangan pekerjaan hampir sama
sekali tidak ada. Para pemuda tidak ada yang meneruskan sekolah hingga ke
perguruan tinggi, sehingga sulit untuk memperoleh penghasilan dengan gaji
tinggi. Para pemudi biasanya bekerja sebagai buruh di pabrik dengan gaji yang
agak lumayan. Sedangkan untuk yang masih bersekolah, mereka sendiri merasa
kesulitan membiayai urusan pribadi masing-masing karena masih mngandalkan orang
tua yang juga hidup pas-pasan. Dalam kondisi semacam itu, bagaimana seorang
anak bangsa dengan suka rela mengurusi sebuah organisasi yang juga membutuhkan
biaya? Memang, dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan komitmen dan rasa
tanggung jawab. Apalagi, organisasi tersebut berdiri sebagai tulang punggung
masyarakat dan untuk kepentingan bersama. Suatu mesin tidak akan berjalan tanpa
adanya suatu bahan bakar. Semoga organisasi pemuda di desa ini dapat dijalankan
kembali dengan bahan bakar alternartif. Bagaimanapun, organisasi kepemudaan
merupakan salah satu media utama dalam mengembangkan persatuan bangsa yang bermoral
dan bermanfaat untuk sesama manusia.
Berkurangnya cinta tanah air
Bulan
Ramadhan kali ini kebetulan bertepatan dengan bulan Agustus. Tiap bulan
Agustus, tepatnya tanggal 17, bangsa Indonesia akan merayakan momen bersejarah
yakni hari kemerdekaan Indonesia. Sudah menjadi kebaiasaan masyarakat pada
bulan ini untuk memasang berbagai macam atribut untuk memeriahkan bulan
kemerdekaan, termasuk memasang bendera merah putih di depan rumah
masing-masing. Di desa ini, hanya sebagian kecil orang mau memasang bendera di
depan rumah mereka. Rasanya kebiasaan tersebut sudah merupakan lagu lama yang
tidak penting lagi untuk dilakukan. Mungkin mereka berfikir, apalah arti
kemerdekaan untuk orang-orang kecil, hidup tetap saja susah. Sepanjang jalan,
penulis tidak lagi melihat kain warna-warni yang dulu ada di tempat tersebut
setiap Agustus. Tahun ini, pemasangan bendera dari kertas hanya dilakukan oleh
beberapa pemuda-pemudi yang merasa peduli dengan hal itu. Mungkin saja tahun
depan jalan-jalan desa akan benar-benar kosong dari kemeriahan HUT RI. Ada lagi
acara khusus di bulan Agustus yang tahun lalu berhasil dilaksanakan meskipun
dengan modal Rp200.000,00 yaitu lomba untuk anak-anak. Untuk tahun ini,
kemungkinan sudah tidak bisa dilaksanakan mengingat tidak adanya modal akibat
organisasi pemuda yang berhenti dan berantakan. Mungkin hanya sekedar memasang
bendera dan lomba kecil-kecilan. Akan tetapi, besar sekali makna yang
terkandung dalam kegiatan-kegiatan tersebut, seperti rasa kebangsaan dalam
mnghargai makna kemerdekaan, rasa persatuan dalam menciptakan suatu even, dan
rasa kebersamaan dan kebahagiaan anak-anak kecil yang jarang sekali terjadi di
tempat ini. Semua itu sulit dilakukan lagi-lagi karena dana dan keegoisan
masing-masing pihak.
Muncul penyakit masyarakat
Kehidupan
masyarakat yang serba kekurangan telah menjadikan mereka buta. Meskipun penulis
tidak menunjuk kepada semua anggota masyarakat, akan tetapi kenyaataannya
hampir sebagian besar anggota masyarakat yang penulis amati telah melupakan
nilai dan norma yang seharusnya telah mereka pahami. Di desa ini telah muncul
lagi penyakit lama yang benar-benar merusak masyarakat, yaitu perjudian.
Penulis telah mengenal dengan baik bagaimana seluk beluk perjudian tersebut,
bahkan setahu penulis memang terdapat oknum tertentu yang sengaja melindungi
jaringan perjudian tersebut. Penyakit ini tidak mengenal usia, semua kalangan
dapat tertulari penyakit ini. Bahkan pemuda-pemuda di desa banyak yang menjadi
calo, sungguh disayangkan. Semua tindakan tersebut telah dianggap wajar di
tempat ini, seperti sebuah permainan bagi siapa saja, hanya tentang menang atau
kalah. Praktek perjudian tersebut tetap saja terjadi meskipun di bulan
Ramadhan, bulan dimana smua umat manusia mencari rahmat dan ampunan, bukan
menambah perbuatan dosa. Lagi-lagi syetan berhasil menjerumuskan manusia dengan
berbagai tipu dayanya.
Hilangnya rasa ketuhanan
Penulis
mengamati masjid di desa penulis saat bulan Ramadhan ini. Awalnya, penulis
merasa senang melihat masjid yang pada hari-hari biasa terlihat sepi dan gelap
sekarang menjadi ramai oleh penduduk desa khususnya para pemuda yang biasanya
hanya duduk-duduk di perempatan jalan. Perasaan itu hanya sementara, sebab
menjelang akhir bulan ramadhan masjid terlihat lebih sepi dibanding sebelumnya,
khususnya di barisan laki-laki. Tidak ada satu pun pemuda yang hadir untuk
shalat. Biasanya, satu dua orang akan datang meskipun hanya untuk shalat isyak.
Kemana mereka semua. Sayang sekali masjid yang tergolong besar tersebut tidak
dimanfaatkan dengan baik.
Mengingat
bagaimana kebiasaan pemuda di desa ini, penulis tidaklah heran. Bagaimana
menyadarkan generasi bangsa yang sudah banyak teracuni dengan minuman keras dan
perjudian untuk kembali mengingat Tuhannya? Apakah mustahil untuk mnjadikan
desa ini sebuah desa yang dipenuhi kedamaian karena semua warganya ingat akan
hari pembalasan? Apakah tidak mungkin suatu saat di desa ini muncul seorang
pemuda yang berani menggantikan satu-satunya imam di masjid tersebut? Apakah
kemiskinan telah membuat mata hati banyak orang tertutup dan lupa untuk
bersyukur? Apakah penulis juga naif
dengan mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan dalam hati tentang kampung
halamannya? Seandainya penulis di posisi mereka, apakah penulis akan menjadi
seperti mereka? Kemudian penulis ingat beberapa ayat dari Allah Swt. yang
artinya
(Ar-Ra’d:26)
Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka
bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding
dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).
(Al-‘Ankabuut:62)
Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
(Ar-Ruum:37)
dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan
rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki
itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.
(Az-Zumar:52)
dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan
menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.