Membentuk diri (bagian 2)
Tidak
terasa satu tahun sebagai mahasiswa PGSD telah terlewati. Rasanya baru kemarin
aku menerima pengumuman penerimaan PMDK, ternyata itu sudah satu tahun yang
lalu. Masih ada setidaknya tiga tahun lagi sampai aku bisa menyandang gelar
sarjana. Bagiku, ini adalah suatu perjalanan berat. Aku belum tahu tantangan
apa saja yang akan aku temui kelak. Aku juga tidak bisa memastikan apakah aku
mampu mempertahankan beasiswa yang menopang kuliahku. Tapi, bukankah itu suatu
kehidupan, sebuah ruang waktu yang penuh dengan ketidakpastian.
Di
semester dua ini, aku menemukan kost yang lebih dekat dengan sewa yang sama.
Aku merasa nyaman dengan fasilitasnya. Kost itu hanya dihuni teman-temanku dari
PGSD, sehingga rasanya seperti rumah sendiri. Aku tidak pernah merasa kesepian
jika berada di dekat mereka. Hanya saja, hanya di semester dua ini aku berada
di kost tersebut. semester tiga besok, aku memutuskan untuk tinggal di rumah
sendiri. Meskipun jika ditempuh dengan sepeda motor butuh waktu setengah jam
untuk sampai ke kampus, aku rasa tidaklah terlalu melelahkan. Aku melakukannya
agar uangku tidak habis hanya untuk membayar kost, padahal rumahku sendiri
cukup dekat dari kampus.
Ngomong-ngomong
soal rumah, sebentar lagi mungkin aku tidak punya rumah. Seperti yang sudah
kuceritakan, itu bukan milikku lagi. Lagi pula, rumahku yang berukuran SSS itu
tidak punya kamar untuk kutempati. Karena itu, aku tinggal di rumah budheku
yang ada di sebelah rumahku. Kamar yang tidak dibatasi dengan tembok, tapi
cukup tempat untuk belajar. Meskipun begitu, aku masih bisa memandang halaman
cukup luas di depan rumah tempat ayah membuat batu bata. Aku juga punya taman
kecil di samping rumah yang aku pelihara sejak aku kecil. Aku merasa tenang
berada di tempat itu. Entah sampai kapan taman itu dapat bertahan sebelum
akhirnya akan hilang karena keadaan.
Pada
semester ini, aku mulai bekerja sebagai guru les privat. Seorang kakak kelas
membentuk sebuah lembaga bimbingan khusus untuk anak SD. Pengalaman dan uang
tambahan yang menarik minatku. Memang tidak banyak uang yang diperoleh, akan
tetapi pengalaman mengajar seperti ini akan sangat berharga untuk profesiku
kelak. Dengan modal sepeda miniku, aku pergi ke rumah masing-masing anak tak
peduli sore ataupun malam dan tak peduli panas ataupun hujan. Aku pikir karena
lelah, mungkin nilaiku semester ini akan turun. Akan tetapi, itu tidak benar.
Terlepas dari segala alasan, aku yakin Tuhan tetap menemaniku dimanapun aku
berada. Aku harap, di semester tiga besok aku tetap mendapat kesempatan untuk
bekerja dengan tetap mempertahankan dan mengembangkan kemampuanku. (aamiin)
Uang
beasiswa semester ini turun di akhir semester. Aku menggunakannya untuk
keperluan hidup, sehingga orang tua tidak lagi memberikan uang saku. Meskipun
begitu, aku mengakui terkadang sifat egois dan kekanak-kanakanku muncul. Sejak
kecil, konflik keluarga memang sering terjadi. Hanya pengertian dan kesabaran
yang mampu menjadi perisai. Tahun ini, adikku masuk SMP, pastilah orang tua
membutuhkan biaya tambahan. Aku menggunakan sedikit uangku untuk membayar uang
seragam. Itu pasti tidaklah seberapa dibanding apa yang telah orang tua
keluarkan untukku dahulu. Sebentar lagi, budhe juga akan punya hajat. Dan
sebagai keponakan yang telah diasuh sedari kecil, sudah menjadi kewajiban jika
memberikan sedikit bantuan. Aku sendiri berfikir, memang tindakan budhe kurang
bijak mengingat kondisi keuangannya sendiri. Aku khawatir beliau akan terjebak
dalam hutang seperti yang lain. Lagi-lagi aku merasa dunia orang dewasa begitu
rumit.
No comments:
Post a Comment