Mencari jati diri (bagian 3)
Tidak
terasa hampir tiga tahun menjalani kehidupanku sebagai pelajar SMA. Ya, kini
aku telah berada di kelas XII, masa yang paling kritis dalam memasuki dunia
dewasa. Di tahun ini, aku tidak memiliki kisah cinta untuk diungkapkan. Siapa
yang tidak tahu kalau pada saat ini semua siswa kelas XII akan menghadapi dua
hal penting dalam hidupnya. Yang pertama, mereka akan menghadapi ujian sekolah
sekaligus ujian nasional dan yang kedua, mereka harus berusaha mati-matian
untuk memasuki sekolah tinggi yang diinginkan. Aku sama seperti murid
kebanyakan, dihadapkan lagi pada suatu dilema yang besar. Sampai akhir semester
satu, aku belum memiliki pandangan sama sekali tentang masa depanku.
Aku
ingat mengenai cita-citaku semasa kecil yang masih aku bawa sampai sekarang.
Menjadi seorang guru yang pada saat itu merupakan satu-satunya pekerjaan yang
aku inginkan. Dan di saat seperti ini, aku berfikir dunia begitu rumit. Aku
hanya ingin menjadi manusia yang sederhana, menjalani hidup ini dengan cara
yang sederhana, dan di tempat yang sederhana tentunya. Pikiranku yang terkesan
pendek itu bukan tanpa alasan. Kehidupanku dan keluargaku telah menjalani
masa-masa yang sulit selama beberapa tahun ini, terutama dengan dijualnya
setengah tanah keluarga yang otomatis akan membuatku kehilangan rumah juga.
Bagaimana mungkin dengan hampir tanpa modal, aku dapat memikirkan sekolah
tinggi ataupun universitas yang kuinginkan. Saat seperti ini merupakan titik
keputusasaan dalam hidup. Tapi, aku selalu menekankan bahwa aku tidak boleh
menyesal akan apa pun, termasuk masuk ke SMA ini dengan modal akal dan
keberanian. Sejenak aku menjadi semangat, aku mulai berfikir beberapa
alternatif yang bisa aku lakukan untuk memulai masa depan. Lagi pula, di desaku
hampir tidak ada orang yang kuliah, apalagi seorang wanita. Aku membayangkan
diriku tidaklah berbeda dengan mereka, yang mungkin akan bekerja setelah lulus
sekolah nanti.
Meskipun
kesempatan untuk melanjutkan sekolah sangatlah sempit, aku masih memiliki
sedikit keinginan untuk mencoba. Salah satunya, aku mendaftar beasiswa di salah
satu sekolah swasta di Yogyakarta, tapi aku pun tidak berharap banyak. Di
semester dua ini, semua siswa kelas XII akan sibuk mengurusi pendaftaran
seleksi mahasiswa melalui PMDK baik jalur reguler maupun beasiswa “Bidik Misi”
yang mulai berlaku tahun kemarin. Seleksi tersebut berdasarkan nilai semester
dari semester I smpai semester V selama di SMA. Aku ingin mengikutinya meskipun
berdasarkan pengalaman kakak kelas tahun lalu, harapannya tipis. Hanya siswa
dengan nilai istimewa yang mungkin akan diterima apalagi melalui beasiswa. Aku
pikir itu salah satu kesempatan yang memang harus dicoba semua siswa.
Rasanya
sang surya baru saja terbit di ufuk timur ketika mengetahui perubahan peraturan
tentang penerimaan mahasiswa melalui jalur PMDK sekaligus beasiswa BM. Untuk
pertama kalinya peraturan tersebut berlaku di seluruh Indonesia. Hanya 25%
siswa yang dapat mendaftar PMDK dan hanya setengahnya yang mendapat kesempatan
mendaftar beasiswa BM. Aku tidak percaya dengan keberuntungan, karena memang
semua hal yang ada di dunia ini tidak terjadi secara kebetulan. Tuhan Maha
Mengetahui dan telah mengatur segala sesuatu termasuk memasukkanku dalam 10%
tersebut. Rasanya seperti pintu masa depan dibuka lebih lebar untukku. Apakah mungkin
aku akan diberi kesempatan untuk memasukinya.
Aku
begitu berharap dan begitu cemas hingga aku membuat janji terhadap Tuhan dan
diriku sendiri. Aku ingin memnutup diriku seandainya aku memang memiliki
kesempatan itu, kesempatan untuk mengejar mimpi yang tadinya mustahil. Hal itu
tentu akan kulakukan secara perlahan-lahan mengingat keadaanku saat ini. Aku
belum begitu mengerti kenapa aku menginginkan hal itu. Aku merasa hatiku belum
sepenuhnya tertutup. Tapi, jika memang aku mendapat anugerah tersebut, bukankah
itu sesuatu yang sangat luar biasa yang mampu Tuhan berikan kepada hamba-Nya.
Karena
aku terlalu yakin dengan hasil seleksi PMDK, aku melewatkan panggilan tes masuk
lain. Dan hasilnya, puji syukur kepada Allah Swt. yang pada akhirnya memberiku
pintu untuk meraih cita-citaku. Aku sementara diterima di universitas negeri di
Surakarta. Betapa bahagianya, meskipun jurusan yang diterima bukan pilihan
utama, akan tetapi aku masih dalam lingkup keguruan, tepatnya pendidikan guru
SD. Sebuah perjuangan yang tidak sia-sia dari awal masuk SMA hingga titik
akhir. Takdir Tuhan memang selalu tak terduga. Jalan yang membimbingku untuk
masuk ke SMA favorit di Sukoharjo, ternyata merupakan langkah awal dalam
mengantarku menjadi manusia yang lebih baik. Terkadang, aku memikirkan lagi
segala kesalahan yang telah aku lakukan selama tiga tahun ini. Apakah aku pantas
memperoleh semua ini setelah aku sedikit lalai dengan kewajibanku. Aku begitu
bersyukur sekaligus merasa bersalah kepada Tuhan yang selalu mengasihi
hamba-Nya walaupun terkadang lupa untuk mensyukuri nikmat-Nya. Aku memang belum
tahu tantangan apa lagi yang akan aku peroleh kelak ketika aku sudah menjadi
seorang mahasiswa. Hanya saja, sekarang aku telah menemukan jalanku, tugasku,
dan tanggung jawabku. Tidak terlepas dari semua kesalahanku dahulu, aku ingin
memperbaikinya sedikit demi sedikit seiring menepati janjiku pada Tuhan
sebelumnya.
No comments:
Post a Comment