Mencari jati diri (bagian 2)
Pada bagian pertama kemarin, aku menceritakan sedikit hal tentang apa yang aku alami di tahun keduaku di SMA. Sekarang aku sudah kelas tiga, jadi tidak ada lagi kisah tentang percintaan anak SMA. Yah, meskipun aku sempat memiliki teman dekat yang benar-benar teman dekat. Seorang laki-laki baik yang mau menemaniku melihat kembang api tahun baru 2011. Untuk pertama dan mungkin untuk terakhir kalinya aku bisa merasakan kebebasan sebagai seorang remaja melalui temanku itu. Aku berterima kasih padanya atas “dunia lain” kaum muda yang dia tunjukkan padaku. Aku akan menceritakannya sedikit.
Sebagai seorang teman, dia begitu setia pada kawan-kawannya. Pada umumnya, kebiasaan beberapa pemuda lajang di malam minggu yang bisa dilakukan adalah bermain futsal atau mencari tempat untuk menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang. Dan aku pernah mengalaminya. Bagiku, tentu saja itu hal baru yang membuatku kurang nyaman. Kegiatan mereka benar-benar positif jika dibandingkan dengan beberapa pemuda lain yang hanya duduk-duduk di tepi jalan dan mabuk-mabukan. Aku berhenti sebentar di tempat dimana hanya ada anak-anak muda yang berkumpul. Banyak pedagang dadakan di tempat. Dan aku berkesempatan mencicipi jagung bakar yang lumayan menghangatkan badan dari dinginnya udara malam. Dia menceritakan banyak hal dan aku sadar kami benar-benar memiliki kebiasaan yang berbeda. Sekarang aku benar-benar rindu teman seperti dia. Karena dari dia, aku tahu bagaimana sebuah persahabatan bisa begitu penuh warna. Tapi, lagi-lagi aku bertanya, “benarkah tindakanku?”
Faktanya dia adalah seorang laki-laki dan aku sadar akan hal itu. Aku tahu tidak seharusnya seorang wanita keluar apalagi pada malam hari dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat ini, aku berusaha mengingat kembali bagaimana cara berfikirku waktu itu. Entahlah, mungkin karena lingkunganku tidak secara tegas melarangnya. Atau aku yang masih belum belajar dari penalaman. Apapun itu, bukankah sudah terjadi. Aku selalu ingin tahu manfaat apa yang dapat aku ambil dari setiap pengalaman hidupku. Sayangnya, aku hanya punya sedikit pengalaman bila dibandingkan dengan orang lain.
Bisa dikatakan, aku mengalami masa-masa dilema yang besar selama aku berada di SMA. Aku terus memikirkan antara tindakan yang benar dan salah, antara yang aku suka dan yang diharapkan kepadaku, antara kebiasaan dan norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kehidupan remaja sepertiku, hal-hal itu tampak membingungkan dan sulit dibedakan. Memiliki teman, dan bergaul layaknya orang-orang pada umumnya, bagiku itu merupakan kesenangan yang wajar selama aku masih menyadari batasan-batasan tingkah laku yang menurutku masih dianggap pantas. Tapi, benarkah?
Aku menyadari sepenuhnya, sebaik apapun kita menganggap baik seorang teman, kita pasti juga akan menemukan sisi lain dari pribadinya. Ketika dunia itu sudah terlalu jauh dengan kehidupan nyata kita, tentu kita akan dihadapkan suatu pilihan yang membingungkan antara kembali ke kehidupan nyata, mengikuti teman tersebut, atau pilihan yang biasanya menjadi jalan tengah, yaitu menyeimbangkan antara keduanya. Tapi bukankah aku mengatkan kalau jaraknya terlalu jauh. Aku membayangkan sebuah meja makan yang panjang dimana di ujung kiri ada nasi dan di ujung kanan ada segelas air. Aku yang sedang dalam keadaan lapar, tidak mungkin akan duduk di tengah meja yang sudah jelas tidak akan mendapat apa-apa.
Peran dan persahabatan itu bukanlah dua kutub yang saling berseberangan. Hanya saja, terkadang keduanya berjalan bersama-sama dan terkadang saling menjauh sehingga kita perlu berfikir untuk memilih jalan mana yang “harus” diikuti, bukan “ingin” diikuti.
No comments:
Post a Comment