Monday, August 13, 2012

UNGKAPAN HATI


Kemiskinan dan moralitas
Kemiskinan merupakan kondisi seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki standar kehidupan di bawah rata-rata orang pada umumnya. Kondisi yang demikian banyak sekali terdapat di negeri Indonesia, baik di desa maupun kota. Kesenjangan terlihat jelas sekali di daerah perkotaan dimana masyarakat miskin banyak hidup di pinggiran kota. Sedangkan di daerah pedesaan, kehidupan masyarakatnya relatif lebih merata dengan semangat tenggang rasa dan kegotongroyongannya. Jika membandingkan antara perkotaan dan pedesaan, seperti membandingkan dua sisi mata pisau yang akan selalu berbeda dan saling melengkapi. Akan tetapi, kali ini penulis ingin menyoroti bagaimana kehidupan pedesaan dimana penulis menghabiskan masa kecilnya sampai sekarang. Tentunya suatu kehidupan yang masyarakatnya tidak jauh dari kemiskinan. Banyak masalah-masalah menarik yang ingin dibagikan kepada semua orang dengan harapan penulis akan menemukan solusi atau saran untuk memperbaiki kondisi agar lebih baik dari sekarang.
Berkurangnya rasa persatuan
Baru sekitar dua tahun penulis menjadi anggota dari perkumpulan muda-mudi di desa. Memang belum besar apa yang penulis berikan kepada desa. Akan tetapi, saat ini siapa yang akan menduga kalau perkumpulan yang telah bertahun-tahun berjalan harus berhenti begitu saja. Satu tahun ini, penulis memang menyadari satu per satu anggota perkumpulan lepas. Selain karena pergi sebagai perantauan di kota-kota besar, alasan lainnya adalah para anggota merasa tidak kuat untuk membayar iuran pada tiap pertemuan. Di desa ini, lapangan pekerjaan hampir sama sekali tidak ada. Para pemuda tidak ada yang meneruskan sekolah hingga ke perguruan tinggi, sehingga sulit untuk memperoleh penghasilan dengan gaji tinggi. Para pemudi biasanya bekerja sebagai buruh di pabrik dengan gaji yang agak lumayan. Sedangkan untuk yang masih bersekolah, mereka sendiri merasa kesulitan membiayai urusan pribadi masing-masing karena masih mngandalkan orang tua yang juga hidup pas-pasan. Dalam kondisi semacam itu, bagaimana seorang anak bangsa dengan suka rela mengurusi sebuah organisasi yang juga membutuhkan biaya? Memang, dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan komitmen dan rasa tanggung jawab. Apalagi, organisasi tersebut berdiri sebagai tulang punggung masyarakat dan untuk kepentingan bersama. Suatu mesin tidak akan berjalan tanpa adanya suatu bahan bakar. Semoga organisasi pemuda di desa ini dapat dijalankan kembali dengan bahan bakar alternartif. Bagaimanapun, organisasi kepemudaan merupakan salah satu media utama dalam mengembangkan persatuan bangsa yang bermoral dan bermanfaat untuk sesama manusia.
Berkurangnya cinta tanah air
Bulan Ramadhan kali ini kebetulan bertepatan dengan bulan Agustus. Tiap bulan Agustus, tepatnya tanggal 17, bangsa Indonesia akan merayakan momen bersejarah yakni hari kemerdekaan Indonesia. Sudah menjadi kebaiasaan masyarakat pada bulan ini untuk memasang berbagai macam atribut untuk memeriahkan bulan kemerdekaan, termasuk memasang bendera merah putih di depan rumah masing-masing. Di desa ini, hanya sebagian kecil orang mau memasang bendera di depan rumah mereka. Rasanya kebiasaan tersebut sudah merupakan lagu lama yang tidak penting lagi untuk dilakukan. Mungkin mereka berfikir, apalah arti kemerdekaan untuk orang-orang kecil, hidup tetap saja susah. Sepanjang jalan, penulis tidak lagi melihat kain warna-warni yang dulu ada di tempat tersebut setiap Agustus. Tahun ini, pemasangan bendera dari kertas hanya dilakukan oleh beberapa pemuda-pemudi yang merasa peduli dengan hal itu. Mungkin saja tahun depan jalan-jalan desa akan benar-benar kosong dari kemeriahan HUT RI. Ada lagi acara khusus di bulan Agustus yang tahun lalu berhasil dilaksanakan meskipun dengan modal Rp200.000,00 yaitu lomba untuk anak-anak. Untuk tahun ini, kemungkinan sudah tidak bisa dilaksanakan mengingat tidak adanya modal akibat organisasi pemuda yang berhenti dan berantakan. Mungkin hanya sekedar memasang bendera dan lomba kecil-kecilan. Akan tetapi, besar sekali makna yang terkandung dalam kegiatan-kegiatan tersebut, seperti rasa kebangsaan dalam mnghargai makna kemerdekaan, rasa persatuan dalam menciptakan suatu even, dan rasa kebersamaan dan kebahagiaan anak-anak kecil yang jarang sekali terjadi di tempat ini. Semua itu sulit dilakukan lagi-lagi karena dana dan keegoisan masing-masing pihak.
Muncul penyakit masyarakat
Kehidupan masyarakat yang serba kekurangan telah menjadikan mereka buta. Meskipun penulis tidak menunjuk kepada semua anggota masyarakat, akan tetapi kenyaataannya hampir sebagian besar anggota masyarakat yang penulis amati telah melupakan nilai dan norma yang seharusnya telah mereka pahami. Di desa ini telah muncul lagi penyakit lama yang benar-benar merusak masyarakat, yaitu perjudian. Penulis telah mengenal dengan baik bagaimana seluk beluk perjudian tersebut, bahkan setahu penulis memang terdapat oknum tertentu yang sengaja melindungi jaringan perjudian tersebut. Penyakit ini tidak mengenal usia, semua kalangan dapat tertulari penyakit ini. Bahkan pemuda-pemuda di desa banyak yang menjadi calo, sungguh disayangkan. Semua tindakan tersebut telah dianggap wajar di tempat ini, seperti sebuah permainan bagi siapa saja, hanya tentang menang atau kalah. Praktek perjudian tersebut tetap saja terjadi meskipun di bulan Ramadhan, bulan dimana smua umat manusia mencari rahmat dan ampunan, bukan menambah perbuatan dosa. Lagi-lagi syetan berhasil menjerumuskan manusia dengan berbagai tipu dayanya.
Hilangnya rasa ketuhanan
Penulis mengamati masjid di desa penulis saat bulan Ramadhan ini. Awalnya, penulis merasa senang melihat masjid yang pada hari-hari biasa terlihat sepi dan gelap sekarang menjadi ramai oleh penduduk desa khususnya para pemuda yang biasanya hanya duduk-duduk di perempatan jalan. Perasaan itu hanya sementara, sebab menjelang akhir bulan ramadhan masjid terlihat lebih sepi dibanding sebelumnya, khususnya di barisan laki-laki. Tidak ada satu pun pemuda yang hadir untuk shalat. Biasanya, satu dua orang akan datang meskipun hanya untuk shalat isyak. Kemana mereka semua. Sayang sekali masjid yang tergolong besar tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik.
Mengingat bagaimana kebiasaan pemuda di desa ini, penulis tidaklah heran. Bagaimana menyadarkan generasi bangsa yang sudah banyak teracuni dengan minuman keras dan perjudian untuk kembali mengingat Tuhannya? Apakah mustahil untuk mnjadikan desa ini sebuah desa yang dipenuhi kedamaian karena semua warganya ingat akan hari pembalasan? Apakah tidak mungkin suatu saat di desa ini muncul seorang pemuda yang berani menggantikan satu-satunya imam di masjid tersebut? Apakah kemiskinan telah membuat mata hati banyak orang tertutup dan lupa untuk bersyukur? Apakah penulis juga naif dengan mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan dalam hati tentang kampung halamannya? Seandainya penulis di posisi mereka, apakah penulis akan menjadi seperti mereka? Kemudian penulis ingat beberapa ayat dari Allah Swt. yang artinya
(Ar-Ra’d:26) Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).
(Al-‘Ankabuut:62) Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba- hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(Ar-Ruum:37) dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.
(Az-Zumar:52) dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.



No comments:

Post a Comment