Mencari
Jati Diri (Bagian 1)
Kemarin, aku membaca kembali cerpen satu-satunya
yang aku buat sewaktu SMA, bisa dibilang itu satu-satunya cerpen yang pernah
aku buat. Ceritanya agak sedikit menyedihkan, dimana aku dan keluargaku harus
kehilangan tanah dimana sekarang masih menjadi tempat tinggal sementara kami.
Kejadian itu membuatku shock untuk
sementara waktu tapi bukan satu-satunya masalah yang harus aku pikirkan. Waktu
itu aku kelas X atau kelas 1 SMA, dan sekarang aku telah naik ke kelas XI.
Sungguh waktu berjalan begitu cepat hingga satu tahun tidak terasa terlewati.
Seperti orang bilang, masa SMA merupakan masa paling
indah, masa pencarian identitas diri, masa paling labil menuju kedewasaan. Hal
itu merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi semua remaja. Akan tetapi,
dampaknya akan berbeda-beda tergantung bagaimana menyikapinya.
Di kelas XI ini, aku diperbolehkan memiliki seorang
“teman dekat” atau teman-teman biasa menyebutnya pacar. Berbeda dengan saat aku
masih kelas X dulu. Entah apa yang menyebabkan ayah berubah pandangan. Aku
hanya berfikir, “Bukankah itu sesuatu yang bagus?” Karena pada saat itu memang
memiliki seorang “teman dekat” yang menjadikan kami pasangan yang unik. Bisa
dibayangkan, aku adalah seorang gadis tomboi yang baru akan menjadi dewasa,
sedangkan dia memiliki penampilan yang agak metroseksual. Entah apa yang
membuat kami cocok, atau mungkin kami hanya memaksakan diri untuk cocok.
Terkadang, lucu saat membayangkan aku -yang memiliki rambut “sangat pendek
sekali” mengenakan celana panjang dan jumper
tanpa memakai perhiasan sedikit pun meski hanya sepasang anting- sedang jalan
bersama dia.
Tapi itulah “teman dekatku”, seorang teman yang
mampu menerimaku apa adanya. Hanya saja, terkadang aku lupa dengan satu hal
penting. Dia juga seorang remaja sepertiku. Jika kita berbicara tentang sesuatu
yang berhubungan tentang perasaan atau kita sebut “cinta”, terhadap lawan jenis
khususnya, hal itu merupakan sesuatu yang masih labil. Ketika aku beranggapan
bahwa hanya akulah satu-satunya yang harus diperhatikan olehnya, itu terkesan
sangat egois. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhirnya “teman dekat” hanya
akan menjadi teman biasa.
Siapa yang tidak akan merasa sedih tentang perubahan
status tersebut. Aku ingat bagaimana aku melalui awal dari hari-hariku yang
berbeda. Banyak curhat sana-sini, banyak ber-galau ria, dan tentunya -masih
sebagai gadis remaja yang normal- tetap mengeluarkan air mata. Aku belum
menyadari apa yang sedang kuhadapi, kenapa aku harus mengalami perasaan sakit
yang luar biasa. Hey, but it wasn’t the
end of the world. Perlahan tapi pasti, waktu tetap berjalan. Benar juga kata
orang, hanya waktu yang dapat menyembuhkan. Setelah lima bulan, aku berhasil
membuat dia menjadi teman biasa dan aku bersyukur pada Tuhan akan hal itu.
Teman baik akan tetap menjadi baik di mata kita selama kita mau berfikir
jernih. Dan dia pada dasarnya merupakan teman yang baik.
***
Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada hambanya,
kecuali untuk memberikan pelajaran tertentu pada hamba tersebut. Aku mencoba
menanamkan keyakinan itu pada diri sendiri, semua kejadian pasti ada hikmahnya.
Aku yakin Tuhan telah mengingatkanku akan tujuan utamaku masuk ke SMA.
Bagaimana bisa aku bersenang-senang secara berlebihan dengan seorang “teman
dekat”, sedangkan di sisi lain ayah dan ibu masih bersusah payah dengan
pekerjaannya, mencoba memperbaiki nasib dengan menaruh harapan besar padaku
sebagai anak sulung. Aku hampir melupakan harapan kecilku karena terlalu menikmati
indahnya masa remaja.
Sebagai bukti kelalaianku, nilaiku di semester 3
menjadi turun drastis dibanding semester sebelumnya. Menurutku, itu karena aku
mengalami kesulitan di awal tahun ajaran baru. Aku tidak menyadari kalau selama
aku memiliki “teman dekat”, pikiranku menjadi terpecah belah, kurang
konsentrasi, dan akhirnya mengganggu semua aktivitasku. Aku tidak menyesali hal
itu terjadi, karena mungkin hanya dengan itulah Tuhan membangunkanku.
Tentu dengan hadirnya seorang “teman dekat” dalam
hidupku memberiku suatu pandangan berbeda. Pandangan tentang bagaimana
menempatkan diri menghadapi masalah yang sama dalam situasi yang berbeda. Aku
melihat banyak teman-temanku yang juga memiliki “teman dekat”. Aku juga banyak
mendengar dan melihat bagaimana mereka menghadapi suatu perubahan status yang
hampir sama denganku. Kebanyakan dari mereka mampu bangkit dan menemukan “teman
dekat” yang lain. Memang beberapa teman mampu menjalani hubungan mereka begitu
lama, dengan kata lain mereka ingin menjalani hubungan yang serius dengan
“teman dekat” mereka. Lalu, aku berfikir mungkin aku yang kurang serius dalam
hubungan seperti itu. Dan aku berfikir lagi, aku sedang dalam kebingungan dalam
menemukan penjelasan yang tepat. Banyak pertanyaan yang timbul, sampai aku
memutuskan untuk berhenti untuk mencari jawabannya.
***
Sampai di penghujung kelas XI, aku menutup diri dari
semua hal yang berhubungan dengan “teman dekat”. Banyak hal yang harus aku
perbaiki untuk meluruskan kembali
jalanku. Dan yang pertama kali kupikirkan adalah memperbaiki penampilanku. Saat
itu aku menghadap ke cermin, aku berkata, “Apa yang akan aku lakukan?” Lalu aku
berfikir tentang memanjangkan rambut yang satu tahun lebih terlihat sangat
pendek. Setelah itu, aku merapikannya hingga aku terlihat seperti seorang
wanita. Ada benarnya juga kalau orang bilang penampilan bisa menambah rasa
percaya diri. Setelah itu, tentu saja kembali mengatur jadwal belajar yang
sempat terbengkalai. Aku dapat melihat hasilnya di semester 4, meskipun
peningkatan nilaiku tidak begitu tajam. Aku berharap nilai-nilai yang telah
kuperoleh dapat menolongku di kemudian hari.
Sekali lagi, aku tidak menyesal dengan pernah hadirnya
seorang “teman dekat” di perjalanan masa remajaku. Karena itu merupakan suatu
pengalaman yang mengesankan dan memberikan banyak pelajaran bagi pembentukan
jati diri. Orang bilang pengalaman adalah guru yang terbaik, tetapi aku juga
berharap bahwa pelajaran yang sama yang aku peroleh dapat dimiliki orang lain
tanpa mengalami apa yang aku alami dulu. Dan semoga aku menemukan jawaban yang
aku butuhkan di perjalananku selanjutnya.
****