Tuesday, July 31, 2012

CERPEN PERTAMAKU


Ayah sadarkan aku
Pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Pertama menjadi awal kisahku yang penuh dengan pertanyaan. Rasanya takhenti-hentinya semua orang memandangku yang kebetulan mendapat NEM tertinggi di sekolah. Memang hanya sebatas itu penghargaan yang aku terima.
Di rumah, kulihat tidak ada yang berubah. Ayah dengan muka kelelahan masih sibuk mengolah batubata. Ayah memang tidak sendiri, seorang teman dari masa kecilku Kris setiap hari membantu ayah. Tentu saja, semua itu tidak cuma-cuma dia lakukan.
Beberapa jam kemudian ayah menghampiriku yang tengah melamun sendiri di teras rumah. Sambil menikmati teh yang sudah mendingin, ayah mengajakku bicara tentang rencanaku selanjutnya.
“Yus, kamu sudah pilih sekolah yang cocok untukmu?” tanya ayah yang tidak memperhatikan aku yang kebingungan.
“Ayah belum pernah membahas ini sebelumnya. Kalau menurut ayah,  aku harus ke mana?” tanyaku dengan sedikit putus asa.
“kalau itu terserah kamu. Tapi sebenarnya, ayah ingin kamu jadi dokter. Dokter itu kan gajinya besar.”
“Itu memang tujuan ayah dari dulu. Tapi, cita-citaku kan bukan dokter, Yah! Memangnya kita punya biaya buat kuliah?”
“Itu sih urusan ayah, yang jelas kamu punya kemauan dan mau bekerja keras.”
Aku diam sambil berfikir apa yang sebenarnya ayah inginkan. Memang sudah menjadi keinginanku sejak SMP untuk menyandang gelar SMA. Mengingat kondisi ekonomi keluarga, aku hanya bisa menjadikannya impian belaka. Setelah kupikir-pikir, SMK memang tidak cocok dengan kemampuanku selama ini dan menjadi pegawai kantoran bukan merupakan sesuatu yang aku harapkan. Pikiranku yang terkesan dangkal, akhirnya mendorongku memasuku dunia SMA.
“Kamu ikut aku aja Yus, ke SMK otomotif. Hehehe, pasti seru deh!” Kris yang masih sibuk dengan batubata di halaman tiba-tiba memecah keheningan sore itu.
Kris memang suka menghibur orang dengan celotehannya yang terkadang mengada-ada.
“Boleh juga, aku pasti bakal jadi cewek paling cantik di sekolah kamu,” kataku dengan tertawa.
Akhirnya dengan melawan segenap kebimbangan serta melihat keseriusan ayah dengan kata-katanya yang setinggi langit, membuatku memilih salah satu SMA favorit di luar daerah. Hari-hari pertama, aku nampak seperti siswa-siswi lain. Mengenal teman-teman baru dan beradaptasi di dalamnya. Ada saat-saat tertentu, aku merasa berbeda dengan mereka. Aku selalu bertanya, di sinikahseharusnya tempatku berada atau aku hanya orang yang tersesat.
***
Meskipun masih tahun pertama, banyak siswa telah membicarakan fakultas apa yang akan mereka ambil. Beberapa universitas terkemuka juga tidak luput dari perbincangan. Seorang teman SMP juga menanyakan hal yang sama padaku. Namanya Ama, aku tetap menjalin hubungan baik dengannya sejak kelulusan. Bahkan, Ama terkesan memberikan perhatian yang lebih padaku.
“Na, selamat ya keinginan kamu masuk SMA favorit bisa tercapai. Terus rencana kamu mau kuliah dimana?”
“Gak tau juga Am, apa itu penting? Aku masih bingung ke depannya nanti akan bagaimana. Terkadang, aku merasa iri dengan teman-temanku.”
“Udah, gak usah putus asa gitu! Jalanin aja dulu, aku yakin Tuhan bakal ngasih petunjuk buat kamu. Selain itu, aku kan masih ada buat kamu. Gak ada yang gak bisa dicapai jika kamu mau terus berusaha.”
“Iya, semoga saja. Makasih ya Am, tumben kamu ngerti maksudku, hehe.”
***
Suatu pagi yan cerah, tepatnya setengah tahun sejak aku mulai menjalani aktifitasku sebagai seorang murid SMA, tak sengaja aku bertemu dengan bude yang tampak mengantuk. Kupikir, semalam bude sibuk membantu ayah dengan batubatanya. Ternyata, suatu masalah lain muncul pada saat yang tdak tepat. Bagai jatuh tertimpa tangga, semua langsung terasa membebaniku.
“Bude kenapa? Kok tampak lesu.”tanyaku pelan.
“Bude semalam gak bisa tidur mikirin keluarga kamu.”jawabnya.
“Loh, emangnya kenapa Bude? Keluargak kan baik-baik saja.”
“Baik gimana kalau rumah kamu ini bakal dijual.”
“Dijual? Kan ayah bilang cuman tanah samping itu yang dijual. Kenapa jadi rumah ini? Aku jadi gak ngerti.”
“Buat apa mas Jarwo membeli tanah yang hanya cukup buat kandang ayam itu? Tentu saja semuanya.”

Aku terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Memang sudah sejak lama ayah merencanakan hal ini, tetapi aku hanya menganggapnya sebagai gurauan belaka. Aku sendiri baru tahu kalau ternyata mas Jarwo akan membeli semuanya. Sempat aku tanyakan hal ini dengan beliau jauh-jauh hari, dengan tidak ada keraguan, beliau mengatakan hanya kebun samping yang dibeli olehnya. Rasa kesala dan kecewa pada ayah tiba-tiba muncul. Apa ayah tidak berfikir akan dibawa kemana ibu, aku dan Dwi adikku jika tanah warisan nenek satu-satunya dijual. Segera saja aku tanyakan hal ini pada Ayah. Sebab sebagai anak, aku merasa tidak tahu apa-apa.
“Yah, apa benar ayah menjual semuanya? Bukannya ayh dulu bilang hanya kebun samping. Ayah selalu melarangku ini itu, tapi ayah tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya. Apa maksud ayah dengan semua ini?”
“ayah harus melakukannya, Yus. Coba pikir, kalau tidak semuanya, apa cukup buat biaya kuliah kamu nanti? Dari mana kita bisa menutup semuanya? Tentu saja, ibu yang hanya kerja di pabrik dan ayah yang bisa usaha batubata, tidak akan cukup untuk memasukanmu ke universitas. Ingat kan keinginan ayah, harta tidak masalah bagi ayah, yang penting masa depan kamu.”
“tapi itu masih lama, memangnya kita mau tinggal dimana? Ngontrak? Kalau tahu begitu, seharusnya ayah bilang sama aku sejak awal.”
***
Dengan perasaanku yang tidak karuan, kutinggalkan perbincangan dengan ayah. Aku masih tidak memahami rencana ayah. Kupikir itu tindakan irrasional ayah yang tidak bisa aku terima. Dimana ayah akaan membuat batubatanya. Bukankah otomatis ayah akan kehilangan mata pencahariannya. Dan aku akan menyalahkan diriku karena selalu menjadi beban buat mereka.
Pagi yang mendung menyambut kemuraman hatiku. Kupejamkan mata dan kutahan air mata yang hampir membasahi pipiku. Sempat kutanyakan dalam hati, apa yang telah terjadi, mungkin ini semua salahku, mungkin itu pula sebabnya ayah melarangku melakukan hal-hal yang kurang penting. Semua kejadian ini membuatku sadar mengapa ayah benar-benar membatasiku dalam bergaul.
Berkali-kali kusadarkan pikiranku dan kucoba menerima diriku yang sedang terjebak dalam masalah ekonomi keluarga. Ayah melakukan emua ini demi perubahan hidup. Perubahan besar hanya akn didapat dengan langkah yang besar. Tidak sepantasnya aku menyalahkan ayah yang telah meletakkan harapan besar bagiku. Apa gunanya aku menyesali apa yang terjadi, semua tidak akan merubah kenyataan. Wajarlah jika ada keraguan dan ketakutan. Yang jelas, jangan sampai aku kalah sebelum berperang. Itulah yang ingin aku tanamkan dalam hatiku secara perlahan. Contohnya saaj, Kris, dia selalu nampak ceria meskipun ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu. Aku bisa jadi seperti dia, selalu semangat dan penuh keceriaan. Aku yakin, selalu ada harapan meskipun berada di tempat tergelap sekalipun. Setidaknya, aku masih hidup normal dengan keluargaku yang sederhana. Suatu saat nanti, akan kutemukan sendiri jati diriku yang sesungguhnya. Dan kejadian ini, hanyalah bagian dari rangkaian perjalanan hidupku yang panjang.
****

No comments:

Post a Comment