Ayah sadarkan aku
Pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Pertama
menjadi awal kisahku yang penuh dengan pertanyaan. Rasanya takhenti-hentinya
semua orang memandangku yang kebetulan mendapat NEM tertinggi di sekolah.
Memang hanya sebatas itu penghargaan yang aku terima.
Di rumah, kulihat tidak ada yang berubah. Ayah
dengan muka kelelahan masih sibuk mengolah batubata. Ayah memang tidak sendiri,
seorang teman dari masa kecilku Kris setiap hari membantu ayah. Tentu saja,
semua itu tidak cuma-cuma dia lakukan.
Beberapa jam kemudian ayah menghampiriku yang tengah
melamun sendiri di teras rumah. Sambil menikmati teh yang sudah mendingin, ayah
mengajakku bicara tentang rencanaku selanjutnya.
“Yus, kamu
sudah pilih sekolah yang cocok untukmu?” tanya ayah yang tidak memperhatikan
aku yang kebingungan.
“Ayah
belum pernah membahas ini sebelumnya. Kalau menurut ayah, aku harus ke mana?” tanyaku dengan sedikit
putus asa.
“kalau itu
terserah kamu. Tapi sebenarnya, ayah ingin kamu jadi dokter. Dokter itu kan
gajinya besar.”
“Itu
memang tujuan ayah dari dulu. Tapi, cita-citaku kan bukan dokter, Yah!
Memangnya kita punya biaya buat kuliah?”
“Itu sih urusan ayah, yang jelas kamu punya kemauan
dan mau bekerja keras.”
Aku diam sambil berfikir apa yang sebenarnya ayah
inginkan. Memang sudah menjadi keinginanku sejak SMP untuk menyandang gelar
SMA. Mengingat kondisi ekonomi keluarga, aku hanya bisa menjadikannya impian
belaka. Setelah kupikir-pikir, SMK memang tidak cocok dengan kemampuanku selama
ini dan menjadi pegawai kantoran bukan merupakan sesuatu yang aku harapkan.
Pikiranku yang terkesan dangkal, akhirnya mendorongku memasuku dunia SMA.
“Kamu ikut aku aja Yus, ke SMK otomotif. Hehehe,
pasti seru deh!” Kris yang masih sibuk dengan batubata di halaman tiba-tiba
memecah keheningan sore itu.
Kris
memang suka menghibur orang dengan celotehannya yang terkadang mengada-ada.
“Boleh juga, aku pasti bakal jadi cewek paling
cantik di sekolah kamu,” kataku dengan tertawa.
Akhirnya dengan melawan segenap kebimbangan serta
melihat keseriusan ayah dengan kata-katanya yang setinggi langit, membuatku
memilih salah satu SMA favorit di luar daerah. Hari-hari pertama, aku nampak
seperti siswa-siswi lain. Mengenal teman-teman baru dan beradaptasi di
dalamnya. Ada saat-saat tertentu, aku merasa berbeda dengan mereka. Aku selalu
bertanya, di sinikahseharusnya tempatku berada atau aku hanya orang yang
tersesat.
***
Meskipun masih tahun pertama, banyak siswa telah
membicarakan fakultas apa yang akan mereka ambil. Beberapa universitas
terkemuka juga tidak luput dari perbincangan. Seorang teman SMP juga menanyakan
hal yang sama padaku. Namanya Ama, aku tetap menjalin hubungan baik dengannya
sejak kelulusan. Bahkan, Ama terkesan memberikan perhatian yang lebih padaku.
“Na,
selamat ya keinginan kamu masuk SMA favorit bisa tercapai. Terus rencana kamu
mau kuliah dimana?”
“Gak tau
juga Am, apa itu penting? Aku masih bingung ke depannya nanti akan bagaimana.
Terkadang, aku merasa iri dengan teman-temanku.”
“Udah, gak
usah putus asa gitu! Jalanin aja dulu, aku yakin Tuhan bakal ngasih petunjuk
buat kamu. Selain itu, aku kan masih ada buat kamu. Gak ada yang gak bisa
dicapai jika kamu mau terus berusaha.”
“Iya, semoga saja. Makasih ya Am, tumben kamu ngerti
maksudku, hehe.”
***
Suatu pagi yan cerah, tepatnya setengah tahun sejak
aku mulai menjalani aktifitasku sebagai seorang murid SMA, tak sengaja aku
bertemu dengan bude yang tampak mengantuk. Kupikir, semalam bude sibuk membantu
ayah dengan batubatanya. Ternyata, suatu masalah lain muncul pada saat yang
tdak tepat. Bagai jatuh tertimpa tangga, semua langsung terasa membebaniku.
“Bude
kenapa? Kok tampak lesu.”tanyaku pelan.
“Bude
semalam gak bisa tidur mikirin keluarga kamu.”jawabnya.
“Loh,
emangnya kenapa Bude? Keluargak kan baik-baik saja.”
“Baik
gimana kalau rumah kamu ini bakal dijual.”
“Dijual?
Kan ayah bilang cuman tanah samping itu yang dijual. Kenapa jadi rumah ini? Aku
jadi gak ngerti.”
“Buat apa
mas Jarwo membeli tanah yang hanya cukup buat kandang ayam itu? Tentu saja
semuanya.”
Aku terbelalak tidak percaya dengan apa yang baru
saja kudengar. Memang sudah sejak lama ayah merencanakan hal ini, tetapi aku
hanya menganggapnya sebagai gurauan belaka. Aku sendiri baru tahu kalau
ternyata mas Jarwo akan membeli semuanya. Sempat aku tanyakan hal ini dengan beliau
jauh-jauh hari, dengan tidak ada keraguan, beliau mengatakan hanya kebun
samping yang dibeli olehnya. Rasa kesala dan kecewa pada ayah tiba-tiba muncul.
Apa ayah tidak berfikir akan dibawa kemana ibu, aku dan Dwi adikku jika tanah
warisan nenek satu-satunya dijual. Segera saja aku tanyakan hal ini pada Ayah.
Sebab sebagai anak, aku merasa tidak tahu apa-apa.
“Yah, apa
benar ayah menjual semuanya? Bukannya ayh dulu bilang hanya kebun samping. Ayah
selalu melarangku ini itu, tapi ayah tidak pernah memberitahuku yang
sebenarnya. Apa maksud ayah dengan semua ini?”
“ayah
harus melakukannya, Yus. Coba pikir, kalau tidak semuanya, apa cukup buat biaya
kuliah kamu nanti? Dari mana kita bisa menutup semuanya? Tentu saja, ibu yang
hanya kerja di pabrik dan ayah yang bisa usaha batubata, tidak akan cukup untuk
memasukanmu ke universitas. Ingat kan keinginan ayah, harta tidak masalah bagi
ayah, yang penting masa depan kamu.”
“tapi itu masih lama, memangnya kita mau tinggal
dimana? Ngontrak? Kalau tahu begitu, seharusnya ayah bilang sama aku sejak
awal.”
***
Dengan perasaanku yang tidak karuan, kutinggalkan
perbincangan dengan ayah. Aku masih tidak memahami rencana ayah. Kupikir itu
tindakan irrasional ayah yang tidak bisa aku terima. Dimana ayah akaan membuat
batubatanya. Bukankah otomatis ayah akan kehilangan mata pencahariannya. Dan
aku akan menyalahkan diriku karena selalu menjadi beban buat mereka.
Pagi yang mendung menyambut kemuraman hatiku.
Kupejamkan mata dan kutahan air mata yang hampir membasahi pipiku. Sempat
kutanyakan dalam hati, apa yang telah terjadi, mungkin ini semua salahku,
mungkin itu pula sebabnya ayah melarangku melakukan hal-hal yang kurang
penting. Semua kejadian ini membuatku sadar mengapa ayah benar-benar
membatasiku dalam bergaul.
Berkali-kali kusadarkan pikiranku dan kucoba
menerima diriku yang sedang terjebak dalam masalah ekonomi keluarga. Ayah
melakukan emua ini demi perubahan hidup. Perubahan besar hanya akn didapat
dengan langkah yang besar. Tidak sepantasnya aku menyalahkan ayah yang telah
meletakkan harapan besar bagiku. Apa gunanya aku menyesali apa yang terjadi,
semua tidak akan merubah kenyataan. Wajarlah jika ada keraguan dan ketakutan.
Yang jelas, jangan sampai aku kalah sebelum berperang. Itulah yang ingin aku
tanamkan dalam hatiku secara perlahan. Contohnya saaj, Kris, dia selalu nampak
ceria meskipun ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu. Aku bisa jadi
seperti dia, selalu semangat dan penuh keceriaan. Aku yakin, selalu ada harapan
meskipun berada di tempat tergelap sekalipun. Setidaknya, aku masih hidup
normal dengan keluargaku yang sederhana. Suatu saat nanti, akan kutemukan
sendiri jati diriku yang sesungguhnya. Dan kejadian ini, hanyalah bagian dari
rangkaian perjalanan hidupku yang panjang.
****
No comments:
Post a Comment